Menanggapi omongan 'kecilnya aja gitu, apalagi nantinya'

by - November 17, 2017

Kenapa ya... setiap ada anak kecil yang melakukan hal besar diluar kemampuan seumurnya, entah menyanyi atau dalam keahlian lain, selalu dipuji secara berlebihan menurut saya. "Wah, masih kecil saja sudah ahli begitu. Bagaimana besarnya, pasti lebih hebat lagi."

Pujian ini nggak ada yang salah sih. Bagus. Husnudzon pada seorang bocah. Hanya saja kok ya agak agak berlebihan gimana gitu. Ya berlebihan aja. Soalnya begini, saya saja yang dulu sangat pemalu. Sekarang sudah sangat berani dan malah mungkin sampai kelewat malu-maluin.

Dulu, ketika saya masih umbelen, pas jaman saat sekolah di MI. Saya murid pualing pemalu. Saya paling ndredeg kalo ditunjuk njawab ataupun maju menulis. Saking pemalunya, tempat duduk saya selalu dibelakang dan sendiri saja. Dan puncak dari rasa malu saya yang saya sadari sangat nyeselin ini adalah saat saat ujian. Karena malu inilah, saya bahkan nggak berani manggil temen untuk menyontek. Alhasil nilai saya selalu jelek dan remidi.

Tapi menginjak SMP, kemaluan saya sudah mulai berkurang. Di SMP ini, saya mulai berani memimpin doa tiap pagi. Dan satu pengalaman paling berkesan adalah ditunjuk untuk jadi ketua kelas. Jujur, itu pertama kali saya menduduki jabatan itu, sebuah jabatan yang berbeda dari jabatan di pemerintahan, karena ndak ada yang mau mengisi dan terkesan justru dijauhi. Menjadi ketua kelas meningkatkan kepercayaan diri saya waktu itu sekitar 30%.

Barulah saat MA, MA NU Karangdadap lengkapnya, saya sudah menjadi murid dengan kapasitas keberanian diatas rata-rata. Bahkan secara tidak terduga, saya mampu menempati posisi yang cukup mentereng seukuran sekolah: menjadi pradana pramuka. Seolah jabatan ini semakin menisbatkan dan menegaskan saya sebagai murid percaya diri dan berani.

Tapi mungkin keberanian saya melewati batas. Secara brengsek, saya mengirim surat cinta kepada 10 wanita sekelas dengan isi yang sama dengan tanpa merasa malu dan berdosa. Bagaimana hasilnya. Nanti saya ceritakan lagi lain waktu.

Jadi intinya, dalam menilai kejadian seperti ini yang wajar saja, biasa, selow. Apa yang kita lakukan sekarang memang berpengaruh kedepannya. Tapi apakah berhak kita menghakimi sesuatu yang belum diketahui secara pasti. Kalau penghakimannya seperti contoh diatas sih tentu bagus dan muakkad, sangat dianjurkan. Namun bagaimana kalau menghakimi dan terkesan kearah pandangan negatif.

Contoh berikut ini lebih banyak saya saksikan dikehidupan ini. Untuk ukuran siswa bandel saja umpamanya. Kalo siswanya nakal buanget dan ketahuan merokok misalnya, atau lebih dari itu, tawuran, maka yang muncul dibenak banyak orang tentu saja negatif. "Masih kecil saja sudah tawuran, ngrokok, bagaimana besarnya nanti?"

Sudah ngaku saja kalau kita memang biasa nggrundel begitu, termasuk saya sendiri. Tapi kita sering tidak mau tau, kalau banyak kok pejabat, pengusaha, bahkan kyai-kyai itu kecilnya nakal buanget. Tapi mungkin dari itulah pengalaman mereka membawa kesadaran untuk menjadi lebih baik dan sekarang menjadi orang.

Sudahlah, keraguan kita yang 'kecilnya aja sudah begitu, bagaimana nantinya' itu tidak ada artinya. Nggak penting menghakimi orang lain, apalagi memang tidak tau babar blas. Itu namanya sok tau. Lebih baik keluar beli kopi, pulang, dan pantengin dangdut academy. Dijamin hidupmu terhibur sampai tengah malam.

Eh, tapi ada ndak ya yang nyeluk kek gini. "Eh, anam ki seh enom tulisane wis kokiye. Piye mbesuke."

You May Also Like

0 Respon