Filosofi Makan Bakso

by - November 12, 2017

BAKSO

Setiap orang tentunya pernah makan bakso. Entah bakso-baksoan kelas bawah harga 2000, atau pun bakso kelas atas harga puluhan ribu yang berukuran besar.

Sebagai makanan umum yang bisa dinikmati  oleh suku, agama, ras, serta etnis apapun. Bakso seakan menjadi simbol kemoderatan dalam urusan makanan.

Namun tahukah anda, menurut survey yang saya lakukan, 8 dari 10 orang yang makan bakso selalu mengakhirkan memakan baksonya daripada mie dan kuahnya.

Setelah saya kaji lebih mendalam, ternyata kebiasaan mengakhirkan makan baksonya itu mempunyai nilai filosofis yang dalam.

Bakso yang bundar itu mempunyai kenikmatan yang lebih dibanding kuah atau mienya. Atau bisa dibilang puncak kenikmatan dari makanan bernama bakso adalah baksonya itu sendiri.

Bakso yang saya maksud adalah bakso yang berukuran besar yang didalamnya berisi urat, telur, ataupun berisi anak bakso.

Tujuan mengakhirkan makan bakso yang bundar itu adalah supaya orang bisa mengakhiri sebuah aktivitas --makan-- dengan kenikmatan yang total.

Menurut saya, filosofi ini amat sangat berguna untuk kehidupan jaman now ini. Bahwa dalam kehidupan ini setiap orang pasti menginginkan akhir yang baik, akhir yang penuh kenikmatan.

Saya tak menyangka kalau nilai kehidupan yang sebegitu pentingnya ini bisa kita dapatkan dari cara kita memakan bakso dengan mengakhirkan baksonya. Sungguh tak pernah saya pikirkan sebelumnya.

Karena saya menemukan pemahaman ini, sebagai bentuk rasa syukur, saya mentraktir teman saya makan bakso, sebut saja teman saya itu namanya Markotop. Saya memesan dua bakso besar yang kata penjualnya bakso beranak.

Usai tersaji bakso dihadapan kami, Markotop langsung memakan baksonya, bukan memakan lebih dulu kuah atau mienya. Saya pun heran, dan bertanya padanya.

"Ko, kok kowe mangane baksone langsung. Mangan baksone ki yo keri ko."

Markotop yang sedang lahap makan itu langsung menyahut. "Lha po koe nek mangan mie ayam, ayame sing dipangan keri?"

Mak tratap. Mendengar jawabannya saya langsung terdiam. Padahal baru saja saya menemukan filosofi indah kenapa orang makan baksonya terakhir. Eh, malah pernyataan Markotop membuyarkan segalanya.

Saya pun dengan tidak bernafsu memakan bakso. Saya potong-potong bakso seukuran mangkok itu. Dan ternyata, bakso beranak yang saya pesan ini tidak ada anaknya. Saya kira bakso ini mandul atau keguguran. Tapi tetap enak.

Selesai makan saya kembali merenungkan filosofi tadi. Pada akhirnya saya menyadari, apapun filosofinya, semua kembali kepada dari mana sudut pandangnya.

You May Also Like

0 Respon