• Halaman Awal
  • Diri Sendiri
facebook instagram Email

Anam Sy

Sudah sejak lama notif hape memperingatkan ruang penyimpananku yang sudah payah. Aku sering kesal, sejauh yang aku tahu, aku jarang sekali memotret maupun merekam video. Lalu dari mana memori tersita ini berasal?

Setiap kali notif itu datang, aku sering mengunjungi isi-isi memoriku, melacak foto dan video yang tak perlu, dan menghapusnya. Kebanyakan, foto dan video berasal dari kiriman wasap.

Selama scroling foto-foto untuk menyortir yang tak perlu, aku selalu menemukan foto-foto lama. Termasuk fotoku dengan seorang wanita yang pernah aku sukai. Sebut saja namanya Mawar.

Ketika menjumpai foto itu, ada dua pilihan besar yang aku hadapi: hapus sama sekali, atau biarkan untuk menjadi kenangan. Sialnya, sampai sekarang aku masih memilih opsi kedua.

Sejauh ini, sekalipun tidak pernah menjalin hubungan secara personal, kenangan dengan Mawar adalah satu pengalaman asmara yang dahsyat. Itulah alasan aku enggan menghapusnya.

Aku kepincut dengan Mawar sejak kali pertama berjumpa. Sialnya, umurnya tidak lebih muda. Yang paling membuatku rispek dengannya adalah kepintarannya untuk secara tidak langsung menolakku. Mengapa aku sebut pintar, sebab sekalipun dulu aku tergila-gila, sekarang, bahkan setelah ia punya pasangan, aku masih tetap berkawan dengannya tanpa perasaan tidak enak.

Lain kali aku akan menceritakan detail soal Mawar ini. Sekarang kita fokus ke foto dulu.

Mungkin, ketika sudah berubah pikiran, aku bisa saja menghapus semua foto-fotonya. Ia sudah bahagia bersama orang lain. Dan aku tentu akan menjalin hubungan dengan yang lain pula. Tak elok jika dalam menjalin hubungan dengan seseorang, ada masa lalu yang masih tersimpan.



Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Barusan, sebenarnya aku sudah menyalakan laptop, membuka Microsoft Word, dan menulis. Tapi setelah beberapa menit, encokku kumat. Aku menyerah, lantas mematikan laptop, dan mengganti menulis di hape sambil merebah.

Tidak semua tekad harus dituruti dengan pakem. Fleksibelitas juga diperlukan agar ketika melakukan sesuatu tidak ada rasa berat hati. Seperti yang aku lakukan kini.

Aku berkata begitu karena aku lah korban dari satu kepakeman. Selama beberapa waktu terakhir, aku tidak menulis. Aku tidak menulis sebab aku pikir, menulis itu harus benar-benar totalitas, menghadap laptop, lama, menyendiri, dan harus ndakik-ndakik.

Tak kukira, dengan pikiran semacam itu, sejatinya aku sudah membikin sulit sendiri sebuah pekerjaan. Seharusnya, ketika ingin melakukan sesuatu, sebisa mungkin hal itu terasa begitu ringan, setidaknya sejak dalam pikiran. Ya agar merdeka saja ketika melakukannya.

Namun apabila sejak awal sudah dibikin repot sendiri, untuk melakukan sesuatu harus begini begini begini, itu jelas bakal menimbulkan kemalasan.

Aku kira, ini bukan berlaku dalam satu hal ini saja, melainkan semua hal. Itulah alasan kenapa target kecil yang spesifik itu lebih baik daripada target besar yang masih abstrak.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Baru kali pertama rasanya aku mengalami keluhan encok. Sebelumnya, prestasi paling pol soal tulang-belulang hanya pegal-pegal. Tak ayal, ini menjadi perhatian besarku saat ini.

Aku mengalami encok sebab kesibukan dalam waktu yang rapat. Ada kegiatan besar yang kala itu harus dipersiapkan matang, sementara di lain hal, tuntutan pekerjaan mengiringi.

Encok ini yang membuat aku lebih sering memilih untuk merebah daripada duduk. Atau kalau mengharuskan duduk, aku duduk persis seperti posisi tahiyat akhir. Kalau bukan dengan gaya itu, aku resah bukan main.

Sejauh ini, belum ada tindakan resmi untuk menyikapi hal ini. Namun begitu bukan berarti tidak ada usaha pemulihan sama sekali. Kemarin malam, oleh Aji aku disuruh untuk menempelkan salonplas di beberapa titik punggung. Cara itu menjadi andalannya ketika menghadapi masalah yang sama. Sayangnya, barangkali karena pertama kali aku menggunakannya, tidak ada efek sama sekali terhadap encokku. Sama saja.

Cara paling jitu sebetulnya ada pada jalan pijat. Tak jauh dari tempatku, ada Mbah Midi si tukang pijat. Namun aku urung ke sana. Aku tidak percaya diri untuk dipijat. Semalam, aku coba dipijat Nanang yang konon mengaku kalau sebenarnya dirinya pintar pijat. Dipijat kawanku yang sungguh amatir ini semakin meyakinkanku kalau ke tukang pijat adalah hal yang bakal sia-sia. Bagaimana tidak, dipegang sedikit saja aku sudah meronta-ronta kegelian. Apa guna lima puluh ribu kalau aku hanya bakal dapat tertawa.

Dari pengamatan asal-asalan yang aku lakukan, cara terbaik untuk menyembuhkan encokku adalah dengan istirahat. Aku butuh jeda dan mengambil waktu untuk menyadari nafas, sambil memijati diri sendiri, dan aku tertawa kegelian. 



Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Rasanya, dua bulan lalu kasur yang aku tiduri sekarang suci dari binatang yang namanya bertolak belakang dari wujudnya: tinggi. Sekarang, hewan ini sudah berkoloni di sudut-sudut kasur dan bantal, bersembunyi di tengah-tengah celah sempit, dan bergerilya di malam hari layaknya perompak.

Aku tidak tahu apa nama resmi dari hewan yang body-nya semacam kutu ini. Atau barangkali ia masih sejenis kutu. Tapi jika kutu, apakah namanya kutu kasur. Tapi apapun namanya, ia tentu menyebalkan.

Ketika aku menulis catatan ini jam dua belas malam di kamar, lewat temaram cahaya yang menyorot dari gawai, aku memergoki dua tinggi mendekati lenganku. Tahu dirinya kepergok, dua tinggi itu tergopoh-gopoh melarikan diri di bawah bantal yang diatasnya kepalaku bersandar. Ketika aku buka, aku seperti menemukan kaum-kaum munafiqun. Bukan cuma dua, ada sekitar 7 ekor yang sudah seperti jihad memperjuangkan darahku. Aku yakin, komplotan ini sudah dikomandoni dan menempati pos-pos tertentu.

Dengan kekuatan yang lebih digdaya, aku sebenarnya bisa dengan mudah melacak pos-pos persembunyian itu dan menghancurkannya satu persatu. Meski tidak semua, aku pasti sudah bisa menurunkan populasi tinggi dengan signifikan. Hanya saja, ini sudah terlalu malam untuk melakukan pembantaian. Masih ada hari esok, pikirku.

Aku tidak tahu dari mana asal mula ada hewan bermigrasi ke sini. Dua bulan lalu, kasur ini adalah pulau kosong yang hanya dihuni oleh keluargaku. Lantas dari mana asal mulanya?

Aku berspekulasi, nan jauh di sana, di sebuah kasur yang sudah sesak penghuninya, dua ekor pasutri memutuskan untuk migrasi secara ilegal. Ia memutuskan untuk menetap di sebuah baju, dan ketika pemiliknya keluar dan bersinggungan dengan manusia lain, dua ekor pasutri itu merembet menuju baju lain. Ndilalah, orang tersebut adalah aku.

Ketika aku pulang, bersama itu pula dua ekor tinggi ini akhirnya resmi menjadi imigran gelap di pulauku. Mereka bercumbu saban hari dan beranak pinak. Dalam waktu singkat, mereka akhirnya membentuk komunitas dan kemudian menjadi sebuah kesatuan besar.

Spekulasi ini sangat mungkin benarnya. Dua bulan lalu dan dua bulan kemudian adalah dua musim yang berbeda. Masa produktif hewan ini, sepengatahuanku memang terjadi di musim hujan semacam ini. Kalau saat kemarau, eksistensi mereka hilang sebab sering kena jemur matahari.

Malam ini, aku memutuskan untuk tetap tidur di kasur ini. Aku ingin biarkan malam ini jadi kemenangan untuk mereka. Aku sudah siap gatal-gatal melewati malam yang mencekam ini. Tapi ketika itu sudah terjadi, ada alasan untukku melakukan balas dendam dan mengibarkan bendera perang.

Tunggu saja.


Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Aku sudah lama tidak lagi menulis. Mungkin nyaris sebulan lamanya. Apalagi hari-hari kemarin aku disibukkan dengan kegiatan organisasi. Benar-benar tidak ada waktu jeda untuk mengoreksi apa yang selama ini terjadi.

Ada yang salah dalam diriku. Aku tahu itu. Aku tahu itu sejak waktu-waktu ketika aku tidak produktif lagi untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan baik.

Aku baru bisa dengan jernih menyadarinya sekarang. Aku sengaja mengambil malam ini untuk tidak melakukan apapun. Aku di kamar, aku menulis, sementara itu aku pasrahkan perasaanku bereaksi apa saja tanpa dibuat-buat.

Yang aku sadari pertama adalah hilangnya fokus untuk menjadi apa yang aku inginkan. Aku ingin tubuhku sehat, pikiranku cerdas, perasaanku jeli. Kehilangan fokus menjadikanku malas membaca, malas merangkai kata, dan melas belajar apa saja.

Kedua, aku merasa tidak punya ruang untuk merdeka berekspresi. Dulu, ketika aku dilanda perasaan tersembunyi maupun terdalam, aku selalu lari ke Twitter dan mencurahkan semua di sana. Berharap tidak ada yang tahu. Namun kini, mutualanku adalah teman-temanku. Ada magnet yang selalu menarik jariku ketika ingin sambat di sana lagi. Seolah magnet itu berkata: jangan... jangan... temanmu lihat.

Aku menduga itu pula yang membuatku sudah jarang lagi menulis. Memang ini bertolak belakang dengan tujuanku menulis yang dulu. Dulu aku menulis karena ingin dibaca. Aku memostingnya di fesbuk, sw, ige, dan blog.

Tapi setelah dipikir-pikir, tujuanku menulis belakangan ini lebih untuk mencurahkan isi hati. Tulisan yang lebih murni. Itulah alasan sehingga aku tidak sering menulis karena takut orang lain tahu apa yang aku rasakan. Aneh ya, padahal tidak semua tulisanku aib juga.

Karena itu, aku jadi punya solusi sekarang. Jika Twitter, Ig, sw, FB, sudah tidak lagi privasi, satu-satunya caraku bisa berekspresi dengan bebas adalah menulis di blog ini. Aku sangat yakin tidak akan ada yang membaca tulisan-tulisanku di sini ke depan.

Oke fix. Blog ini akan sepenuhnya jadi tempat curhatku sekarang. Aku tidak lagi ingin berpikir apakah tulisanku bagus atau tidak, yang terpenting apa yang ada di kepala, peristiwa yang terjadi dan terlewati, sanggup aku abadikan dengan baik. Plong. Lega.

Untuk malam ini, mungkin itu saja. Awal mulai yang baik. Good night.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
eko imaduddin

Pemilihan ketua IPNU Kebonrowopucang kemarin meninggalkan kisah menarik. Sulit untuk memastikan apakah ini kisah kekalahan atau kemenangan. Sebab kalah dan menang, rasanya bukan sebuah nilai lagi.

Untuk ketiga kalinya, Eko Imaduddin, gagal menjadi ketua IPNU dan hanya sukses bertengger sebagai runner-up. Tahun ini, ia harus kalah oleh pria hemat, cermat, dan bersahaja dari Rowobulus Tengah dengan selisih satu poin. Dua tahun sebelumnya, ia juga kalah oleh sedulurnya sendiri, lord Marzuqon. Dan dua tahun sebelumnya lagi, kalau tidak salah ingat, ia di bawah perolehan jonjang Fajar.

Rasa-rasanya, catatan tersebut mengingatkan kita kepada sosok seorang Bapak Prabowo Subiyanto. Mari kita semua setujui hal itu. Seperti yang kita tahu, bapak Prabowo, maju mencalonkan diri dalam kontestasi pemilihan presiden sebanyak tiga kali, yakni tahun 2009, 2014, dan 2019. Dan seperti Eko, tiga kalinya pula beliau gagal menduduki kursi utama.

Tapi hal itu bukan sebuah masalah bagi mereka. Prabowo tetap berpolitik dan bahkan kini ditunjuk Pak Jokowi memimpin Menteri Pertahanan. Sementara Eko, tetap menjadi manusia biasa dan bahkan kini ditunjuk dirinya sendiri untuk mempertahankan mantan terbaiknya sekalipun pasti tidak bisa.

Sebentar. Kita sepertinya sudah terlalu lancang dan berlebihan menyamakan Eko dengan Prabowo. Eko bagaimanapun tetap Eko. Dan Prabowo bagaimanapun tetap Prabowo. Keduanya lebih banyak perbedaannya daripada kesamaannya. Prabowo kaya, Eko biasa saja. Prabowo Menteri Pertahanan, Eko Banser kebanggaan. Jajaran Prabowo rombongan TNI, sedangkan Eko hanya punya Puji Rosaini. Gap-nya terlalu jauh. Sungguh, kita benar-benar sudah terlalu lancang menyamakan keduanya, kasihan Pak Prabowo-nya.

Sudah-sudah. Lebih baik kita fokus berbicara soal Eko saja.

Bagi yang mengenal Eko pasti paham betul kalau Eko sudah lama berkiprah dalam organisasi IPNU Kebonrowopucang. Saking aktifnya, pria yang mengaku berusia 25 tahun ini selalu menjadi tangan kanan kepercayaan ketua.

Terhitung sudah tiga periode ia menjadi andalan ketua dalam berbagai urusan. Dimulai ketika era-nya Pak ustad Muhaimin, berlanjut Jonjang fajar, dan terakhir, Lord marzuqon, dan masih akan tetap dipercaya sampai akhir jaman, percayalah.

Pokoknya, apapun urusannya, ketika ada Eko, seperti sudah jaminan oye. Sebutkan saja apa kebutuhannya: mbagi undangan, nembung tempat, rekomendasi makanan, negosiasi ketika ada permasalahan, juru bicara kegiatan, narik proposal, dan apapun jenisnya, ia bisa dan lihai.

Hal itu yang membuat kita yakin, Eko memang tidak pantas disamakan dengan Prabowo, namun, ia pantas disamakan dengan sosok lord Luhut Binsar Panjaitan.

Bagaimana? Setuju?

Share
Tweet
Pin
Share
4 Respon

 

Quote

Pagi tadi, saya bangun jam setengah sembilan dan berhasil membuat saya malas beraktivitas, terlebih sudah tiga minggu ini saya nganggur. Saya hanya membuka hape; menonton yang sekiranya bisa menghibur hingga jam sepuluh, lalu lanjut makan, mandi, dan menulis ini.

Ada sekian tantangan yang terhampar di depan saya sekarang. Saya meyakini, apa yang ditakdirkan kepada saya memang yang terbaik untuk saya jalani.

Saya belum genap satu bulan berusia 22 tahun ketika memegang amanah ini. Saya jadi teringat doa yang saya panjatkan ketika pergantian usia: agar saya bisa berkembang dan bisa bermanfaat. Saya tidak tahu apakah ini adalah jawaban dari doa tersebut atau bukan. Yang jelas ini adalah sesuatu yang perlu saya hadapi sepenuh hati.

Mungkin pula, ini juga jawaban doa Vina untuk dirinya. Dua hari sebelum Rapat Anggota, ia baru menjejaki usia 23.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Anam Sy

Ini akan menjadi pengalaman perjalanan hidup yang bakal banyak mengubahku. Kemarin, 3 September 2021, secara mengejutkan, aku terpilih menjadi ketua IPNU Kebonrowopucang usai menang dramatis satu suara dari Eko Imaduddin.

anam sy


Aku masih tidak menyangka. Bahkan untuk menuliskannya saja aku belum sanggup. Roda kehidupan seperti berhenti sejenak, mencoba menyusun sistem baru untuk dikenali.

Sementara untuk IPPNU, yang akan menjadi partner-ku kali ini adalah Vina Farkhatunnaila. Ia menang telak yang disambung tangisan mbis-mbis tidak terima. Ia masih belum menerima, tapi pasti tidak akan lama.

Vina Farkhatunnaila

Vina FarkhatunNaila


Untuk semua tugas berat ini saya awali dengan: Bismillahirrohmanirrohim.


Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

22

 

Aku memutuskan untuk tidak bekerja hari ini dan menikmati hari pertama di usiaku ke-22 dengan santai. Kupikir aku akan memulai banyak produktifitas hari ini, namun tetap saja ada kebingungan yang muncul dan berakhir pada: “ini sebenarnya aku melakukan apa, sih”.

Namun tak mengapa, aku harus menikmati momentum ini sebagai awalan. Ke depan, aku akan melewati masa-masa panjang yang akan terasa berat. Jika bukan dengan keberanian, dengan apa lagi aku harus menjalaninya.

Melangkahnya aku diusia ke-22 ini adalah sebuah pencapaian. Betapa aku masih bisa bertahan sejauh ini. Bertahan dari hal apapun yang pernah kulewati. Bahkan aku menganggap, inilah momen terbaikku.

Kusebut ‘momen terbaik’ karena banyak hal yang tidak kusadari membawaku sampai juga di titik sekarang. Perubahan demi perubahan. Keberuntungan demi keberuntungan. Dan segala hal baik yang memihak padaku.

Aku paham aku belum menjadi diriku seperti yang kuharapkan. Tapi proses beberapa tahun belakang membuatku cukup bangga. Rasanya aku tidak percaya bahwa aku sekarang adalah aku yang semacam ini.

Dulu, aku khawatir akan menjadi dewasa dengan sifat pemalu, terisolasi dari dunia luar, dan merasa sendiri dan sepi setiap waktu. Terlebih 2016 ketika aku sakit, itulah masa terberat dalam hidup yang membuatku terpuruk nyaris tanpa menyisakan harapan.

Aku digiring untuk melewati takdir demi takdir. Lamat-lamat aku tumbuh juga. Seperti bunga matahari ketika pagi, ada naluri dalam diriku untuk bergerak menemukan cahaya.

Meski begitu, aku merasa belum pernah benar-benar melakukan hal terbaik bagi diriku sendiri. Semacam belum totalitas untuk menggapai mimpi demi mimpi. Aku sadar setiap waktuku berharga, tapi aku juga sadar, banyak waktuku selama ini terbuang sia-sia. Kemalasan sering menjadi faktor utama. Dan dorongan untuk malas, adalah terlalu lama mengakses sosial media.

Poin itu yang kupegang. Lalu kuurai di mana titik menyebalkannya. Setelah kuusut, media sosial memang dirancang agar penggunanya betah berlama-lama. Setiap kali scrool, semakin ke bawah kontennya semakin menarik perhatian. Semula hanya lima menit, hingga tak terasa sudah satu jam saja mengaksesnya.

Karenanya aku mulai membatasi mengakses media sosial. Aku sudah membuang aplikasi Instagram dan Facebook dari gawai. Tanpa sadar, ternyata aku sudah meng-uninstall itu sejak lima bulan yang lalu. Bayangkan kalau aplikasi itu masih ada. Barangkali aku juga akan tidak sadar kalau ternyata aku juga akan mengakses itu setiap hari selama lima bulan. Mencengangkan. Belajar dari itu aku kemudian juga melakukan hal sama dengan Twitter.

Kini, ketika usiaku tepat menginjak 22 tahun, aku sudah tidak ada beban itu. Aku jadi punya waktu banyak untuk melakukan hal produktif sehari penuh. Selanjutnya, keputusan sepenuhnya ada dalam kendaliku.

Bismillah tanjcap gas….


Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

 


Akhirnya setelah lama bekerja, aku punya waktu jeda. Semalam, bos ngabari kalau hari ini libur dulu. Perasaanku? Lega….

Pagi hari setelah bangun jam 8, tubuh mengajakku untuk menjalani hari ini dengan maksimal. Didorong oleh itu, semangatku bergairah. Usai memasukkan kasur ke kamar, entah kenapa hal pertama yang kulakukan adalah makan dan dilanjut dengan membaca buku. Dua bab saya tandaskan dengan mindfull.

Awal yang bagus ini membawa mood-ku ke jalur yang benar. Usai baca buku aku iseng buka handphone. Barangkali ada hal yang penting, pikirku. Aku coba buka wasap dan tuiter. Hari ini, ungkin memang aku ditakdirkan untuk tidak malas, tubuh saya menolak berlama-lama menatap layar ponsel. Aku langsung mengambil tugas yang lama mangkir dan menggarapnya. Jam sebelas, tugas merekap selesai.

Sialnya aku terlena untuk membuka wasap sebentar dan berujung pada scrool tuiter sampai jam 12. Karena kupikir aku mulai berpotensi keterlaluan, aku hentikan paksa. Aku ambil pakaian kotor, memasukkannya ke kamar mandi, merendam, dan menyucinya. Saat melakukan itu, aku hadir betul. Untungnya pakaianku sedikit sehingga sedikit pula waktu yang kubutuhkan untuk mencuci.

Jam satu selesainya mencuci aku beranjak makan siang. Tentu juga sholat. Karena mood-ku masih bagus, tetiba aku reflek mengambil laptop berencana mencoba nginput tugas. Sedikit kendala kujumpai di sana, untungnya bukan kendala yang berarti setelah aku konsultasi dengan kawan yang sudah lama selesai. Dari perbincangan itu pula aku menemukan pola menyelesaikan tugas yang taktis.

Sebenarnya hari ini ada rencana ke Welo Asri olah janji seorang kawan yang kegegerannya masih diperbincangkan sampai saat ini. Geger, karena rencana itu sudah dilayangkan empat kali dan selalu gagal. Aku tak jadi menginput, sebenarnya juga oleh alasan itu. Tapi karena sudah terlanjur tidak menunaikan tugas menginput, juga rencana Welo sepertinya bakal kembali gagal, aku ingin melakukan hal lain yang sepadan. Pilihannya jatuh untuk menulis.

Sudah ya, kuselesaikan saja tulisannya bersamaan dengan selesainya cerita tentang ini.


Share
Tweet
Pin
Share
No Respon


Omong kosong segala harapan yang terucap beberapa waktu lalu. Sdgs, menulis, workout, membaca buku, dan hal lain, hanya bumbu manis lisan yang menggiurkan. Nihil, tak ada hasil. Waktu yang kukira bakal menjadi produktif, justru malah terkesan njlimed, ora nggenah fokuse.

Agustus sebentar lagi memasuki tanggal 13 Agustus, sebuah warning keras karena banyak deadline yang harus selesai di akhir bulan. Fokus menjadi hal yang penting. Fokus mengalahkan ego, utamanya. Beberapa plan gagal karena ego dimanjakan betul untuk tetap santai, tetap nyaman di kasur, dan mengaggap semua bisa dilakukan nanti.

Ini terakhir kalinya aku menulis tulisan semacam ini. Ke depan, tidak boleh ada lagi penyesalan konyol atas kesalahan yang dilakukan berulang-ulang. Malu sama diri sendiri. Malu sama seorang Anam Sy di masa depan. Mau jadi apa kalau berubah untuk hal-hal yang bisa dikendalikan saja susahnya minta ampun.

Tidak ada yang lebih penting sekarang selain bagaimana caranya aku melakukan banyak perubahan dalam hidupku. Sampai saat ini, hidupku masih terkesan biasa-biasa saja. Tidak ada pencapaian membanggakan yang kurasakan. Seperti tidak ada tantangan.

Aku ingin hidupku berubah. Bosan saja menjadi orang yang normal, lurus, dan mengikuti arus. Aku ingin menjadi diriku yang kubutuhkan. Seorang anak muda yang produktif, bugar, dan berwawasan luas.

Bayangkan betapa membosankannya bangun tidur dan pikiranmu sudah langsung ditujukan untuk kerja. Itu imbas karena kau bangun ketika matahari sudah lebih tinggi dari tongkat bendera. Kau tak menjumpai pagi yang tenang di mana embun masih segarnya menetes dari ujung daun jambu depan rumah.

Kau makan seperlunya karena tidak ada nutrisi yang perlu kau penuhi sebab pagimu hanya habis untuk tidur. Kau juga tak merasakan bagaimana keringat pagi hari sehabis olahraga dapat meningkatkan mood-mu seharian. Juga mandi dan gosok gigi yang membuatmu bakal terasa lebih bugar. Pagi yang tidur membuatmu menghilangkan sepaket kebahagiaan yang ditawarkan alam.

Saat dipekerjaan, kau perlu waktu adaptif dulu, tubuhmu masih tercium aroma kasur. Semangatmu telat panas. Belum lagi ada sekitar belasan menit mencari musik terbaik untuk menemani mengawali pagi.

Siang hari saat waktunya istirahat, kau pulang merebahkan badan. Bukannya menjiwai seutuhnya makna istirahat, kau justru membuka sosial media. Tak terasa setengah jam lamanya. Kadangkala kau coba tidur sebentar, dan tidak sadar pula kau kemudian terperanjat karena waktu istirahatmu tinggal seperempat menit. Makan siang dan solat, terpaksa dilakukan dengan cepat dan buru-buru. Itu belum lagi kalau ternyata perutmu mendadak mules. Butuh waktu tambahan dan berakibat telat untuk menemukan momen saat kembali menghadap kerjaan.

Jam empat waktunya pulang. Kau memang begitu cintanya ya dengan twitter, sekalipun kau mengerti tidak akan banyak hal yang kau dapat, kau terus memantaunya. Seperampat terbuang lagi. Pulang lalu merebah dan kau meneruskan aktifitas itu lagi sembari menunggu kamar mandi kosong.

Kau mengajar usai mandi. Setengah jam lamanya. Beranjaknya dari sana, lagi dan lagi kau sepertinya lupa untuk membaca buku atau mencicil rekap sdgs, hape menjadi tujuanmu lagi hingga maghrib.

Maghrib datang dan kau solat sebentar lalu tadarus. Kau kemudian makan yang terkadang ditemani tayangan tivi. Sehabisnya kau menandaskan nasi, balik lagi menghadap hape. Kau sepertinya memang kecanduan akut hingga setiap beberapa menit sekali kau harus mengeceknya. Itulah yang kau lakukan berulang sambil menunggu isya datang.

Sehabis isya kau lakukan rutinitas yang sama lagi: bekerja. Lembur. Pulang jam 10 dan nyaris selalu lebih karena di sana kau manfaatkan dulu akses Wifi-nya. Sialnya, itu seperti pembuka, di rumah kau melanjutkannya lagi, hingga malam, hingga tidur. Memang sesekali disela itu kau membuka laptop dan menulis.

Paginya sehabis tidur, kau mengulangi hal yang sama setiap hari. Apa tidak membosankan sekali?

Bersama ini, yok: bongkar kebiasaan lama.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon


Kemarin malam, aku bertemu dengan perempuan yang kucintai dalam sebuah forum diskusi organisasi. Kalau tidak berlebihan menyimpulkan, ia agak genit malam itu. Kegenitan yang sengaja dimunculkan untuk memberi sinyal bahwa ia sedang bahagia.

Dan benar saja, dalam kesempatan yang nisbi singkat, ia bercerita kalau beberapa hari belakangan ia memang sering kencan dengan mas pacar. Pacar yang menurut pengakuannya, akan dijadikan pendamping hidup.

Lupakan soal itu. Yang menjadi sorot pertanyaanku adalah: aku yakin sekali ia tahu kalau aku mencintainya, namun kenapa justru kabar hubungannya tanpa ragu ia ceritakan padaku begitu saja. Sungguh, aku pikir, ia telah keterlaluan untuk meyakini kalau aku bisa bahagia melihat ia bahagia dengan pilihannya. Kenyataanya? Entahlah.

Yang patah, tumbuh. Yang tumbuh, sudah dipatahkan lagi. Untungnya, ada sahabat yang datang di waktu tepat menyirami prosesku untuk bersama bertumbuh.

Setidaknya, jika memang aku tidak bisa lagi jatuh cinta, aku bisa menumbuhkan cinta.


Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

 

Di penghujung tahun hijriah yang mendung, kaki-kaki pendosa satu persatu menuju muhsola untuk berdoa bersama. Dimulai dengan untaian istighfar, rangkaian doa akhir tahun dipanjatkan. Pada akhirnya, selesailah masa 1442 H. dan sepantasnya kita bahagia, Tuhan masih mengijinkan kita menghirup waktu untuk mengingat-Nya.


Adzan berkumandang, tahun baru memulai tugasnya. Seribu empat ratus empat puluh tiga hijriah memasuki hari pertama. Kebaikan di-setting ulang, keburukan ditekan. Lagi-lagi kita patut bersyukur, dengan kemurahan Tuhan, Ia lagi-lagi menakdirkan kita melakukan kebaikan. Sholat maghrib, wirid, dan doa awal tahun, menghiasi catatan lembar pertama di tahun 1443.

 


Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

 

Anam Sy

Lama sekali aku tidak menulis di blog ya. Kali ini akan kuceritakan padamu apa yang terjadi padaku akhir-akhir ini.

Aku akan memulai cerita ini dengan kabar baik. Dua bulan lalu, tepatnya awal Juni, aku membeli laptop baru. Kusebut baru karena aku tidak memiliki laptop sebelumnya. Laptop yang kuanggap baru ini tidak benar-benar baru, melainkan laptop bekas yang kubeli di Tokopedia setelah berpikir lama. Laptop yang kubeli adalah Lenovo Thinkpad X240. Aku membelinya seharga 4 juta. Ini adalah pembelian terbesar sepanjang hidupku. Pembelian yang membuatku tak punya uang lagi setelahnya. Nekat sekali bukan.

Sejak pertama kali laptop ini datang, hal pertama yang kulakukan adalah menulis. Menulis, karena itulah tujuan besarku. Aku membeli laptop agar aku semangat menulis. Aku menulis hampir setiap hari. Menulis apa saja. Bisa dibilang, aku belajar menulis lagi sejak awal. Ini penting bagiku agar naluri menulis kembali terbentuk usai sekian lama tidak lagi menulis.

Malam ini, dalam upayaku rutin menulis setiap malam, aku teringat blog ini. Akhirnya aku memutuskan, sepertinya sudah saatnya aku menulis dan mempostingnya di blog ini. Memang nyaris mustahil ada yang membaca karena blogku kecil, tapi sebagai bagian dari proses, aku perlu rutin memposting tulisan setiap beberapa waktu sekali.

Itu satu kabar. Kabar lain dariku ialah, sekarang, aku hampir sudah bisa menuju kehidupan yang produktif. Hampir, ya. Jika kamu membaca tulisanku sebelumnya tentang media sosial, kamu akan tahu kalau sejak 7 Maret 2021, aku menghapus berbagai media sosial dan aplikasi lain yang sering menyita waktuku secara nyata. Itu artinya sudah 5 bulan aku tidak memiliki aplikasi Instagram, Facebook, Massanger, dan aplikasi lain. Itu adalah keputusan terbesarku. Semula aku berpikir akan ada yang aneh karena aku sudah sedemikian tidak bisa dipisahkan dari medsos. Eh, tau-tau, hari ini sudah lima bulan saja aku tidak mengakses aplikasi-aplikasi itu.

Banyak sekali manfaatnya ternyata dari apa yang aku lakukan. Aku lebih punya banyak waktu untuk hal-hal yang berguna. Hasilnya aku tidak terikat lagi dengannya. Aku merasa lebih plong dan paling penting, aku merasa jauh lebih bahagia. Hal ini berbeda ketika dulu di mana rasanya seperti tidak ada menit tanpa mengakses sosial media. Aku dipaksa melihat kehidupan orang lain dan ujung-ujungnya membuatku selalu membandingkan diri dengan meraka. Sangat melelahkan.

Sebetulnya aku tidak sepakem itu juga dalam mengakses sosial media, aku masih punya aplikasi Twitter Lite untuk bisa tetap memantau ada apa dengan dunia. Instagram dan Facebook juga kadang aku buka, tetapi melalui browser. Ini tricky memang, aku menyusahkan diri untuk mengakses media sosial lewat browser, dan karena pasti ribet, aku selalu berhasil malas untuk melakukannya.

Itulah yang terjadi padaku akhir-akhir ini. Aku merasa, ini adalah momen terbaik sepanjang hidupku. Yang menyenangkan dari itu semua adalah aku merasa tidak sendiri. Aku punya kawan yang baik sekali dan membersamaiku dalam menempuh jalan perubahan ini.

Namanya Naili Wirdatul Muna. Ia adalah kawan terbaik yang pernah kumiliki. Aku tidak sering bertemu dengannya. Pertemuanku dengannya nyaris selalu karena kebutuhan. Tidak pernah sama sekali aku bertemu dengannya dengan alasan gabut. Aku tahu, ia seorang yang terjebak dan selalu menjebakkan diri dalam siklus produktif. Selalu ada hal yang digarapnya.

Aku merasa beruntung sekali bisa bertukar pikir dengannya dalam banyak hal. Ia menjadi penguat atas beberapa hal yang ingin aku lakukan. Misalnya soal uninstall medsos, aku sudah berpikir lama untuk melakukannya, dan ketika Wirda juga berbincang soal itu dan kami kemudian berdiskusi, akhirnya aku terdorong untuk melakukannya. Dan terbukti, aku berhasil melakukannya.

Yang terbaru adalah soal konsep minimalism. Aku juga sudah beberapa kali baca artikel tentang itu sebelumnya. Dan kembali, setelah mengobrol soal itu dengannya, aku akhirnya memutuskan untuk mempraktikannya. Aku memilah baju yang sering kupakai saja, aku juga kemudian membeli barang yang kubutuhkan saja. Aku sekarang hanya memiliki sedikit barang dan membuatku menjadi orang yang simple.

Boleh kubilang, pertemuanku dengan Wirda kali ini seperti keajaiban. Ia datang sebagai seorang teman di waktu yang tepat. Sangat tepat. Ia datang ketika aku sedang proses berubah menjadi lebih baik. Dan ini yang tidak pernah kusangka. Sebelumnya, transaksi pertemananku dengannya hanya urusan nasib sialnya soal asmara dan aku hanya menjadi pendengarnya. Sekarang pertemanan kami lebih fair, aku menjadi pendegarnya dan ia menjadi pendengarku. Dan ajaibnya, dari pertemanan sesungguhnya ini, aku merasa ia menjadi suport system bagiku secara tidak langsung.

Karena itu, aku merasa butuh teman semacam ini untuk terus mendorong dan menguatkanku dalam berproses lebih baik.

#

Kukira, sudah cukup sepertinya cerita ini diselesaikan sebagai pembuka ya. Jika terlalu random ceritanya, maklum, aku menulisnya langsung sekali jadi. Dan kupikir, aku mungkin akan sering menulis spontan semacam ini. Lebih plong saja. Mengalir.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

Apa rasanya, undangan pernikahan seseorang yang kau cintai pertama kali tiba-tiba hadir di rumah mengejutkan waktu istirahatmu di siang hari. Saya baru merasakannya. Dan kemarin, 12 Juni 2021, ia melangsungkan pernikahan.

Apa yang saya rasakan? Kosong.

Ia adalah orang yang pertama kali mencintai saya, dan karena itu, saya kemudian mencintainya balik. Kisah ini tidak banyak berbeda dengan kebanyakan cinta monyet lain karena kejadiannya berlangsung sewaktu Madrasah Ibtidaiyah kelas enam. Namun bicara soal kenangan, ini cukup berkesan sebab menjadi babak awal kisah asmara saya.

Cerita dimulai ketika sepulang sekolah. Ketika itu, semua perempuan sekelas berada di rumah seseorang. Entah apa yang terjadi, pagi seusai pertemuan itu, kelas menjadi begitu ramai. Keramaian muncul tiap kali murid lelaki di kelas saya memasuki kelas. Teman-teman perempuan seketika histeris.

Saya tidak tahu apa yang terjadi, sialnya, saya ikut menjadi bagian dari kehisterisan itu. Ketika saya memasuki kelas, semua perempuan heboh, mereka kemudian memanggil saya dengan nama ‘Mitta’. Barulah saya tahu, ternyata, kemarin sepulang sekolah, masing-masing murid perempuan jujur-jujuran tentang siapa lelaki yang disukainya. Dan ternyata, saya, disukai oleh seorang perempuan bernama ‘Mitta Haritsatul Laila’.

Kisah selanjutnya adalah masa-masa munculnya kebodohan diri sendiri. Jika mencintai seseorang itu bisa membuat orang menjadi goblok, saya sudah memulainya sejak sekecil itu.

Baiklah, saya perlu menuliskan ini biar saya merasa plong. Sekaligus saya ingin mencoba mengingat kembali ke jauhnya masa lalu yang saya yakin, ketika saya mengingatnya lagi, saya bakal tertawa karenanya.

Saya tidak ingat betul kenapa saya kemudian mencintainya balik. Yang saya ingat, setiap hari, saya sering lempar-lemparan secarik kertas di kelas, bahkan saat pelajaran sekalipun. Semacam surat-suratan namun dengan versi lite. Beberapa teman saya seringkali iseng menangkap buntelan kertas yang dilempar olehnya. Dan beberapa kali pula, lemparan saya meleset mengenai teman sebangkunya.

Saya geli sekali mengingat kejadian itu. Bukan apa-apa, yang saya bahas dalam surat-suratan lite itu berisi percakapan yang sebetulnya bisa dilakukan dengan komunikasi langsung. Sungguh, betapa saya mempersulit diri sendiri. Tapi sepertinya perlu dimaklumi, dengan cara itulah saya punya kesempatan untuk terus melihat senyumnya yang… ah, sialan.

Dan, oiya, ada satu hal dalam surat-suratan itu yang isinya sangat membekas dalam ingatan saya. Suatu kali, ia melempar surat, dan ketika saya baca, isinya berbunyi: “Semoga cinta kita kekal abadi….” Saya tersenyum lebar dan seperti tidak bisa selesai, termasuk ketika saya menuliskannya saat ini. Saya ingat betul balasan saya kala itu: “Sesampainya akhir nanti… selamanya….” Hingga saat ini, ketika mendengar lagu itu, entah di radio entah di mana, saya jadi mengingatnya. Ah, bajingan betul.

Tidak sampai itu saja, kisah cinta monyet saya juga berlangsung di luar sekolah. Pernah suatu malam saya pernah apel ke rumahnya. Dan itu satu-satunya pengalaman saya apel hingga saat ini. Karena masih kecil, saya tidak masuk rumahnya, saya hanya di depan rumah. Saya jadi ingat sesuatu lagi. Duh, kenapa saya jadi ingat-ingat hal mendetail tentangnya ya.

Sewaktu apel, banyak semut yang berkeliaran dan cukup mengganggu. Dan kalian tahu apa yang saya lakukan, saya menjadikan itu bahan menggombal. “Mit, kamu tahu kenapa banyak semut di sini?” Ia menggeleng. “Karena kamu manis,” tandasku. Ia hanya tersipu malu. Saya juga tersipu malu, tepatnya sekarang, ketika menulis ini.

Dengannya, saya juga pernah mengalami fase tukar-tukaran kartu perdana yang membuat saya cukup repot karena seringkali keluarganya menelpon nomornya. Lebih parah dari itu, saya juga memiliki panggilan kesayangan yang cukup menggelikan: Papi dan Mami. Tentu panggilan ini hanya terjadi saat sms-an saja. Dulu, belum ada WA seperti sekarang. Saya ingat, hape saya saat itu merk Mito. Dan dari sinilah, kisah saya dengannya bubar tanpa kejelasan.

Ini bermula ketika suatu pagi, ia enggan melihat saya lagi. Sesuatu yang sangat janggal. Saya akhirnya meminta bantuan kawan dekatnya untuk mengulik alasannya. Dari sanalah saya tahu, ia, ketahuan sms-an oleh keluarganya. Ndilalah, sms itu ada bagian mami papinya. Ia dimarahi habis-habisan. Dan sejak itu, ia dilarang pegang hape lagi. Bersamaan dengan itu, hubungan saya dengannya bubar sekalipun tidak ada kata perpisahan.

Selulusnya dari MI, kehidupan berjalan seperti biasa. Kami melanjutkan ke SMP dan SMA berbeda. Sekalipun begitu, kami masih berhubungan baik, apalagi jarak tumah yang cukup dekat memungkinkan kami sering berpapasan. Ketika saya dan ia bertemu, kami seakan-akan sepakat untuk tidak mengingat itu lagi. Kami juga seakan-akan sepakat, kejadian itu hanya cinta monyet biasa dan tak perlu dimasukkan dalam daftar mantan.

Namun bagaimanapun, kawan-kawan saya tetap menganggap saya adalah mantannya dan sebaliknya. Karena kebetulan saya kondangan bersama kawan-kawan dekat, saya jadi bahan guyonan. Mereka mengatakan saya sedih lah, saya galau lah, dsb. Mereka tidak percaya kalau saya baik-baik saja.

Sialnya, saat kondangan, kawan-kawan saya punya ide gila. Memang repot kalau punya kawan semplak. Bagaimana tidak bisa disebut somplak dan edan, mereka membuat formasi manten-mantenan dan saya jadi mempelai prianya. Ya Tuhaaaannnnnn. Mana mereka cosplay jadi orangtua dan manten cilik lagi.

Karena dipaksa, saya akhrinya harus mengikuti permintaan konyol meraka. Dan kamu tahu apa yang terjadi, dadaku berdesir. Keringat mengucur deras tak tertahan. Kaki bergetar tak karuan. Ya Tuhaaaannnnn, perasaan macam apa ini.




Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Saya baru saja menyantap kenikmatan sepiring Indomie dengan kesadaran penuh lengkap dengan segelas teh hangat agak manis dan kental yang saya seruput sebagai satu paket komplit yang pas di malam ketika saya sedang stak. Saya menyantapnya dengan tenang, khusyuk, dan tanpa gangguan suara apapun.

Aktifitas itu saya lakukan disela-sela kebingungan saat menulis. Memang sebelum itu, saya ingin menulis tetapi selalu saja gagal dan berakhir melamun. Dan setelah saya makan dan minum dengan kehadiran penuh, saya jadi menemukan segenggam ketenangan batin yang saya bawa dalam menulis kali ini.

Dalam lamunan saya setelah menyantap Indomie goreng, saya menemukan kerangka berfikir yang sederhana semacam ini. Tentu masih soal menulis.

Selama ini, saya jarang menulis karena merasa belum menemukan topik yang enak atau topik yang belum saya dalami betul. Sementara, saya cukup jarang pula melakukan riset. Maka, sampai kapanpun, potensi saya untuk menulis sesuatu tidak akan ada.

Ini tentu tidak baik untuk keberlangsungan kepenulisan saya. Saya harus tetap menulis. Dan kenapa pula menulis yang semula menjadi hobi justru saya bikin ribet sendiri dengan patokan-patokan yang saya buat. Saya sadari ini sesuatu yang bertolak belakang. Bagaimana pun, saya harus menulis dengan perasaan merdeka. Kalau saya mau menulis, ya menulis saja. Kenapa saya harus takut jelek. Bukankah memang selama ini tulisan-tulisan saya begitu saja dan cenderung jelek.

Jika begitu, kenapa aktifitas menulis dijadikannya gampang saja. Menulis ya menulis saja. Saya kira dalam konteks ini, tidak jauh dengan stand up comedy kalau menulis juga perlu mengambil materi dari keresahan dan hal-hal yang begitu dekat dengan diri kita. Dan malam ini, saya mempraktekannya dengan menceritakannya bagaimana saya akhirnya menulis catatan ini.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Saya menggaruk kepala keras-keras. Selain gatal, ini adalah ekspresi kekesalan. Kesal setelah saya barusan melewati beberapa menit dengan membuka-tutup hape tanpa tujuan yang jelas.

Beberapa hari yang lalu saya nekat menghapus semua sosial media di ponsel. Keputusan itu saya ambil setelah saya sadar kalau waktu saya sudah terlalu banyak disita untuk scroll hal-hal tidak penting. Menghapusnya adalah cara agar saya bisa fokus hanya untuk hal-hal yang bernilai.

Dan tadi, menemukan diri saya masih tertarik sisa-sisa magnetis sosial media, saya jadi kesal.

Saya menghela nafas panjang. Dalam keadaan masih merebah di atas kasur yang tidak rata, saya memejamkan mata. Sebentar merenung.

Sial. Tidak ada yang bisa saya tangkap dari renungan barusan. Kecuali sebuah kesadaran bahwa ini terjadi dan saya harus hadapi.

Saya kemudian membuka aplikasi note. Saya pikir, waktu yang biasanya saya habiskan untuk bersosial media, bisa saya alihkan untuk menulis.

Bukan hal mudah ketika selanjutnya saya dihadapkan dengan draf kosong. Apa yang harus saya tulis. Saya menatap draf kosong lamat-lamat. Memejamkan mata mencoba menyalakan ruang imajinasi. Menyelam sedalam mungkin.

Oh tidak. Saya tidak menemukan apapun. Saya justru tersedak setelah menemukan kekeringan dalam kedalaman ruang imajinasi saya dan membuat mau tidak mau saya membuka mata. Saya tidak kuat. Saya tidak bisa.

Ruang berpikir saya kosong. Imajinasi saya kering. Saya tidak bisa memaksa. Memaksa hanya akan membuat saya tersiksa. Lantas kalimat apa yang bisa saya tulis sebagai draf pembuka dalam menulis kali ini?

Saya kembali menghela nafas.

Saya kemudian duduk. Menyenderkan punggung ke tembok. Barangkali berganti posisi bisa membuat pikiran saya cair untuk menulis sesuatu.

Random. Saya menulis random. Bebas. Saya pernah mendengar entah dari siapa bahwa draf pertama dibuat memang untuk dibunuh. Entah dengan cara dimutilasi, diperkosa, dicincang, dimasak, atau dengan cara apapun itu. 

Dan benar. Saya menulis draf pertama untuk saya dibunuh. Saya membunuhnya dengan cara menghabisi kalimatnya. Jadinya, saya menulis lalu saya habisi. Menulis lalu habisi. Menulis lalu habisi. Hingga beberapa menit kemudian saya berhenti dan kembali menatap layar. Saya heran. Yang ada, tidak ada draf pertama yang tercipta. Kosong.

Saya jadi kesal. Bosan. Merebah lagi. Lalu keluar dari aplikasi note ini.

Malam ini, saya gagal menulis.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Ia agak genit hari ini. Beberapa kali memainkan matanya dengan centil. Berpakaian pink dengan kerudung pink pula. Membawa tas hitam yang diselempangkannya. Berdandan tipis dan cantik sekali.

Aku memboncengkannya dengan bahagia, melewati posko dan orang-orang. Membayangkan kalau perempuan anggun dibelakangku adalah pasanganku. Membawanya ke rumah seseorang untuk sebentar bertamu. Memasuki pintu bersama seperti layaknya sepasang pengantin muda yang sebulan jalan, dan bersalaman dengan si empunya rumah sambil serasa ingin berucap: kenalkan, ini istriku.

Seharian kami di acara yang sama. Seharian pula aku mengagumi kecantikannya. Aku memandangnya sembunyi-sembunyi beberapa kali, dan dipergokinya pula berkali-kali. 

Beberapa kali aku mengajak foto dengan perempuan di sampingmu, tujuannya agar kamu menawarkan diri dan akhirnya aku punya foto denganmu. Sayangnya tidak, kamu tidak tertarik. Aku ingin sekali memintamu foto berdua bersama, namun selalu tidak berani kulafalkan. 

Kamu cantik hari ini, dan mungkin akan cantik sepanjang waktu. Aku tak bisa memotretmu, dengan apa lagi aku mengabadikan kecantikanmu selain dengan kata-kata.

~27 Mei 2020/4 Syawal 1441 H~
Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Saya sekolah di Madrasah Ibtidaiyah, dilanjut SMP, dan MA di sebuah kecamatan di Pekalongan. Selama dalam masa itu saya menyadari bahwa saya murid yang jarang sakit. Sehingga, saya nyaris tidak pernah absen sekolah. Hal itu berbeda dengan hampir semua siswa sekelas yang dalam satu semester pasti punya catatan sakit, setidaknya meriang atau masuk angin.

Sewaktu di MA, saya punya sahabat namanya Safri. Saya cukup akrab dengannya sehingga rasa-rasanya, apapun obrolan kami pasti nyambung.

Pernah suatu kali, karena kepikiran hal di atas, saya berbincang dengan Safri. Bukan berbincang ding, saya diskusi. Saya kira diskusi juga kurang tepat. Mungkin lebih tepatnya, saya memberi pernyataan. Hmm, mungkin lebih cocoknya lagi saya ngoceh.

"Fri, saya ini heran. Kok orang lain pasti ada saja sakitnya pas masa sekolah. Entah meriang entah masuk angin dll. Sementara saya, nyaris seperti tidak pernah sakit. Makanya saya berangkat terus. Saya gak tau ya, mungkin ada rahasia di balik ini. Mungkin ntar saya sakitnya bakal totalan, tidak nyicil seperti kebanyakan orang."

Mendengar celotehan saya, Safri hanya tersenyum. Tanpa komentar.

Beberapa bulan setelah itu, saya punya masalah. Masalah itu benar-benar masuk pikiran dan menyerang mental saya hingga drop. Dan setelahnya, saya sakit.

Semula saya berfikir ini sakit biasa. Sehingga saya pun menanganinya dengan cara biasa. Seminggu paling juga sembuh.

Tetapi, seminggu lebih saya masih sakit. Tubuh saya melemah. Dan bertambahnya waktu semakin melemah.

Saya kemudian dibawa ke dokter umum. Diperiksa. Dikasih resep. Meminumnya rutin.

Seminggu kemudian saya semakin lemah, tidak ada tanda-tanda perubahan. Saya dibawa lagi ke dokter umum, dengan orang yang berbeda. Diperiksa lagi. Disuntik. Dikasih obat. Katanya, gejala tipes.

Kesembuhan ternyata belum kunjung menghampiri saya. Saya ke dokter lagi, dokter yang lainnya lagi. Barangkali dokter memang cocok-cocokan. Diperiksa lagi. Dikasih resep lagi. Meminumnya lagi seminggu.

Masih belum juga kunjung membaik. Saya ke puskesmas. Diperiksa lagi. Dikasih resep lagi. Dan gagal lagi.

Saya masih saja sakit. Dan semua dokter yang saya kunjungi hanya mentok memberi statment bahwa saya gejala tipes. Sementara itu, tubuh saya makin lemah. Makin memperihatinkan.

Dibawanya lagi saya ke dokter umum, yang lainnya lagi. Dicek lagi. Dikasih resep lagi. Meminumnya lagi. Dan lagi lagi, tidak ada perkembangan.

Disela-sela itu, sebetulnya keluarga saya ingin berupaya memasukkan ke rumah sakit, namun karena soal ekonomi, keputusan ke sana selalu berhenti di angan saja.

Hingga suatu hari, karena melihat saya semakin memprihatinkan dan tidak punya perkembangan, guru-guru saya di MA menjenguk saya dan sekaligus membawa saya ke Puskesmas. Saya di bawa ke puskesmas yang ruangan ruang inap, bukan ruang yang sebelumnya saya ngantri.

Saya sudah sulit berjalan. Dipapahnya saya menuju ruang pemeriksaan. Dicek tensi dan sebagainya. Dan mereka bilang: "kami sudah tidak sanggup, kami buatkan surat rujukan ke rumah sakit."

Surat rujukan dibuatkan, saya dan guru-guru hebat saya kembali ke mobil. Kemudian pulang, mengabari bapak saya, mengumpulkan identitas penting, menuju balai desa untuk mengurus entah surat apa. Sementara saya di rumah, guru-guru saya menuju rumah sakit untuk mengambil antrian.

Dua jam kemudian saya dibawa lagi oleh mereka, kali ini ke rumah sakit. Bapak saya ikut. Dengan tubuh yang tak berdaya, saya pasrah.

Masuk rumah sakit, saya diambilkan kursi roda. Bapak saya mendorong dan saya dibawanya ke antrian poli penyakit dalam. Seusai ngantri beberapa menit, saya masuk. Diperiksa oleh dokter yang berpengalaman. Dia bilang: "kenapa baru di bawa sekarang, sudah parah begini." Plang, saya kaget, itu berarti ada yang serius.

Dengan cepat, dokter mengambil tindakan. Saya lupa, mungkin saat itu saya disuntik.

"Kamu harus rawat inap."

Bapak saya nampak gelagapan. Bapak tidak mengira.

Bersamaan dengan itu, asistennya sedang menelpon bagian lain menanyakan ruang yang tersedia. Dan kebetulan, satu ruang baru saja ditinggalkan.

Saya kemudian disiapkan untuk rawat inap. Dan setelah selesai, saya dibawa keluar bersama asisten tadi dengan infus yang sudah menempel. Saya langsung dibawa ke ruang ronsen, disuruh merebah, disuruh berdiri, discan dengan alat yang baru saya lihat.

Dan kemudian saya dibawa ke sebuah ruang. Saya memasukinya, dan di ruang itu tampak penuh pasien lain. Dipojok ruangan itulah akhirnya saya ditempatkan.

Beberapa hari kemudian hasil ronsen muncul, dan ternyata, saya sakit TBC Paru-paru. Gila, pikir saya. Saya sakit serius. Bukan lagi sekadar sakit meriang, melainkan sakit TBC. Tuberculosis. Penyakit yang setelah saya cek di google, merupakan penyakit mematikan di dunia. Saya menangis. Menangis bukan karena sakit, namun menangis kenapa saya merepotkan keluarga semacam ini.

Saya rawat inap di sana selama 8 hari. Dan syukurnya, semua biaya ditanggung BPJS. Saya pulang, lega.

Tapi kelegaan saya hanya sebentar. Saya tetap saja sakit. TBC adalah penyakit yang harus diobati dalam kurun waktu minimal 6 bulan secara terus-menerus. Itu sebabnya saya harus bolak-balik rawat jalan.

Diumur ke 3 bulan pengobatan, saya muncul penyakit lain. Dan itu adalah kelenjar di leher. Setelah diperiksa, ternyata, virus TBC dalam paru-paru saya sudah merambat ke kelenjar saya. Saya kembali menangis. Ini apa lagi ya Tuhan.

Kelenjar di leher itu ternyata tidak cukup setia bertempat di satu tempat. Saat kelenjar di leher tengah sudah hampir sembuh, muncul kelenjar di leher bagian lain, begitu seterusnya selama berbulan-bulan. Jujur, saya stres.

Tiga bulan. Empat bulan. Enam bulan. Sembilan bulan. Dan berbulan-bulan. Saya belum kunjung sembuh.

Saya bolak-balik setiap sebulan dua kali ke rumah sakit untuk rawat jalan. Dan saya baru sembuh setahun setengah kemudian. Perjuangan yang begitu melelahkan dalam hidup saya.

Dan setelah menjalani semua itu, saya sadar saya pernah berkata sesuatu. Dan perkataan itu benar. Seakan doa yang terkabul. Saya sakit totalan. Sakit panjang berbulan-bulan.
Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Saya pernah menanyakan hal ini pada bapak-bapak tetangga samping rumah saya.

Beginilah percakapannya.

"Mbah, enak mana jamannya Soeharto dengan jamannya Jokowi hari ini?"

Sambil menghembuskan asap rokok, dengan tenang Simbah itu menimpali. "Ya jelas enak jamannya Soeharto."

Dari wajahnya, Simbah ini seperti punya pengalaman masa lalu yang panjang dan berat. Garis-garis di wajahnya membuat saya yakin, dia akan bercerita banyak kenapa jaman Soeharto lebih baik daripada kepemimpinan masa ini?

"Memangnya kenapa Mbah? Bukannya jaman pak Jokowi ini banyak pembangunan?"

Simbah itu diam sejenak, sebentar kemudian mengambil kopi yang nyaris habis dan menyeruputnya pelan. "Bukan itu nak. Alasannya sederhana: karena ketika jamannya pak Soeharto, istri saya masih muda dan cantik," tandasnya sehabis menghabiskan sisa kopi.

Alasan yang masuk akal.
Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Sudah lama sekali saya punya blog dan ngeblog. Sudah bukan rahasia juga kalau saya bisa menulis. Menulis dan ngeblog. Dua hal yang sangat sederhana.

Ada hal menarik yang perlu saya singgung soal ini. Saya memang tidak pernah jauh dari menulis. Namun anehnya, sepanjang 2021 ini saya hanya mengunggah tulisan di blog ini cuma sekali. Pertanyaannya, lalu mana tulisan saya selama ini dalam hari-hari di bulan Januari dan Februari? Di mana Anam? Di mana tulisannya? Mana wujudnya?

Sampai detik ini saya masih heran sendiri. Saya punya kecenderungan untuk tidak mempublikasikan tulisan hanya khawatir ada yang baca unek-unek saya. Ya saya pikir ini sesuatu yang aneh. Kalau begitu, ngapain menulis?

Ada lagi. Saya juga heran ketika misalnya saya posting sebuah tulisan di blog, saya punya kekhawatiran bakal tidak akan ada yang baca. Ini kan aneh juga.

Maksud saya, kalau saya sudah tau tidak akan ada yang baca tulisan di blog ini, lantas kenapa saya takut orang-orang bakal melihat unek-unek saya. Dan lagipula kenapa saya takut mengunggah ke blog. Takut siapa? Kan memang tidak ada siapa-siapa.

Saya akhirnya jadi sadar. Hubungan saya dengan blog ini memang saya bikin ribut dan ribet sendiri. Padahal persoalan menulis dan mengunggah adalah hal yang sederhana. Ini yang saya sadari.

Dan berangkat dari kesadaran ini, ke depan saya bakal lebih sering posting tulisan di blog. Saya harus selalu mengingatkan diri sendiri kalau blog ini adalah tempat curahan hati saya. Juga tempat saya belajar mengasah kemampuan menulis.

Jadi, kenapa takut. Kenapa ragu. Menulis dan mengunggahnya ke blog itu sesuatu yang gampang. Kalau semisal tidak menemukan gambar yang mewakili tulisan, ya sudah jangan pakai gambar.

Sesuatu yang dari awal sudah merepotkan, biasanya tidak akan bertahan lama. Dan saya tidak ingin hal itu terjadi dalam kebiasaan menulis dan ngeblog ini. 

Selamat kembali diri saya di blog. Selamat menulis lagi.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon

7 Maret 2021, dengan penuh sadar dan dengan pertimbangan yang matang, saya menghapus media sosial dari handphone saya. Saya menghapus Instagram, Facebook, dan Massager. Saya juga menghapus aplikasi yang sudah tidak banyak saya gunakan lagi, yakni aplikasi Dana dan Bukalapak.

Bukan hal mudah untuk menghapus aplikasi-aplikasi tersebut, setidaknya saya perlu mengumpulkan niat seminggu lebih.

Keinginan saya untuk jauh dari sosial media memang sudah muncul sejak lama. Saya merasa media sosial telah menyita waktu saya sedemikian nyata. Tidak ada yang saya dapat darinya. Kecuali saya mendapati bahwa saya tidak berkembang dengan positif.

Sebetulnya pun, saya mengakses media sosial hanya sebentar-sebentar. Masalahnya, dalam waktu sebentar itu tidak terasa ternyata saya sudah sejam saja. 

Sejak tidak lagi mengunggah tulisan di media sosial, saya hanya membuka media sosial untuk keperluan iseng-iseng. Hiburan semata. Dan sepertinya juga digerakkan oleh kebiasaan yang sulit dihentikan. Setiap kali melihat satu video menarik di sana, saya memutarnya, dan ketika selesai, di bawahnya berderet video sejenis yang membuat jari ingin memutar lagi dan lagi. Tidak IG tidak FB, sama saja.

Saya pikir, hal ini tidak sehat untuk hidup saya. Saya begitu kecanduan hingga tidak bisa lepas dari media sosial. Maka satu-satunya cara pintas adalah menghapusnya. Dan saya melakukannya.

Saya ingin cerita kenapa akhirnya saya berani menghapus sosial media tadi.

Ini bermula ketika suatu hari, ada teman saya yang cukup aktif Twitter dan Instagram-an tiba-tiba pamit. Akhirnya saya tahu, ternyata teman saya ini sudah unistall Instagram dan Twitter dari hapenya. Kalau Facebook, teman saya ini memang sudah lama sekali tidak bermain Facebook.

Teman saya ini namanya Naili Wirdatul Muna, teman dekat sekaligus sahabat saya. Nah, karena saya memang sudah ada keinginan menghapus media sosial sejak lama, akhirnya saya tanya-tanya sama Wirda. Bagaimana rasanya setelah menghapus aplikasi-aplikasi tersebut. Saya tentu penasaran.

Katanya, setelah unistall aplikasi-aplikasi tersebut, sekarang ia justru bingung harus ngapain. Biasanya ia mengisi waktunya untuk mengakses media sosial, dan ketika media sosial sudah tidak ada, ia belum menemukan kesibukan lain. Padahal, tujuan awalnya untuk memfokuskan diri menggarap skripsi. Saya sih memaklumi. Barangkali memang perlu transisi untuk beranjak dari kebiasaan lama menuju kebiasaan baru.

Kabar terakhir dari Wirda, karena ruang kosong itu belum terisi dengan baik, dia menumpahkannya untuk ikut jaga kedai milik IPPNU yang berada di belakang ITS NU kalau tidak salah.

Dari pengalamannya ini, saya jadi banyak berdiskusi dengannya. Menariknya, ternyata saya dan Wirda ini punya kesamaan untuk belajar meningkatkan kemampuan diri. Kami banyak mengobrol soal konsep minimalis, buku-buku pengembangan diri, dan hal menarik lain.

Hingga pada tepat pukul 00.00 Ahad, 7 Maret 2021, tidak ada angin tidak ada hujan, Wirda mengirimi saya sebuah link yutub. Menurut pengakuannya, ia menemukannya secara kebetulan.


Saya baru membukanya esok harinya, dan barulah saya ketahui, link tersebut merupakan link Youtube yang isinya seseorang sedang monolog menerangkan satu hal. Sesuatu menarik perhatian saya ketika saya melihat judul video yutub itu: digital minimalism. Dari deskripsi, yang membawakan adalah seorang perempuan hebat bernama Marissa Anita. Seseorang yang kemudian karena auranya, saya langsung memasukkannya ke dalam daftar tokoh inspirasi saya, bergabung dengan Dian Sastro, Maya Septa, Najwa Shihab, dll.



Karena video inilah saya akhirnya menghapus banyak aplikasi yang tidak bermanfaat bagi saya. Saya ingin menciptakan ruang bosan saya dan membiarkan pikiran saya berkelana ke sudut-sudut kreatif. Setidaknya begitu salah satu isi video tadi.

Ini adalah hari ketiga saya terbebas dari media sosial. Saya memang belum menemukan ketenangan seperti yang saya harapkan. Namun setidaknya, saya sudah tidak lagi sedikit sedikit menengok beranda Facebook dan Instagram apa fenomena yang sedang hits saat ini.

Tujuan lain kenapa saya menghapus media sosial adalah karena saya ingin fokus pada hal yang saya minati: menulis. Dulu, saya bermedia sosial salah satunya karena ingin membagikan tulisan saya. Namun setelah saya keluar jalur, saya lebih banyak mengamati kehidupan orang lain.

Ada satu aplikasi yang sebenarnya tidak saya hapus. Adalah Twitter. Saya kira ini media sosial yang aman karena saya tidak bakal banyak melihat kehidupan orang lain. Mengingat, justru disinilah orang-orang low budget bangga dengan statusnya.

Tapi setelah dipikir-pikir, saya juga kecanduan untuk mengamati kerecehan demi kerecehan yang disajikan warga Twitter. Semula saya masih bertahan dengan cara unfollow orang-orang yang tidak memberi value bagi saya. Namun setelah didalami lagi, saya tidak banyak menyerap manfaat juga di media ini. Karena tidak tega sampai unistall, saya hanya logout. Dan selesailah saya dengan pikiran-pikiran negatif yang mungkin masuk dari media sosial. Saya sudah berjarak dengannya.

Belum lengkap sampai di situ, WhatsApp pun menjadi target selanjutnya untuk mengurangi kecanduan saya dengan hape. Sama seperti Twitter, saya tidak sampai hati untuk menghapus. Yang saya lakukan adalah membisukan semua story orang-orang. Saya merasa damai telah melakukannya. Tidak ada lagi celah untuk membandingkan diri dengan orang lain.

Setelah menghapus semua media sosial dan aplikasi yang sudah minim manfaat, sekarang saatnya saya menjalani hidup dengan sehat. Fokus dan sadar penuh melakukan hal yang ada di depan mata. Bahagia ada dalam kendali saya. Dan saya berhak melakukan apa yang saya suka sekarang tanpa lagi membanding-bandingkan.

Selaras dengan ucapan Wirda: selamat datang kehidupan nyata.

Share
Tweet
Pin
Share
No Respon
Newer Posts
Older Posts

Info

Tayang seminggu dua kali

Mutualan, Yuk

  • facebook
  • instagram
  • youtube

Kategori

IPNU

Postingan Viral

Catatan

Sementara kosong dulu, seperti hatiku

Facebook

Isi Blog

  • ►  2024 (15)
    • ►  Apr 2024 (1)
    • ►  Mar 2024 (4)
    • ►  Feb 2024 (1)
    • ►  Jan 2024 (9)
  • ►  2023 (11)
    • ►  Des 2023 (3)
    • ►  Nov 2023 (1)
    • ►  Sep 2023 (3)
    • ►  Jul 2023 (4)
  • ►  2022 (46)
    • ►  Nov 2022 (7)
    • ►  Okt 2022 (7)
    • ►  Sep 2022 (6)
    • ►  Agu 2022 (4)
    • ►  Jul 2022 (9)
    • ►  Mei 2022 (4)
    • ►  Jan 2022 (9)
  • ▼  2021 (22)
    • ▼  Des 2021 (5)
      • Foto-foto Seseorang yang Masih Dalam Ruang Penyimp...
      • Repot Sejak Dalam Pikiran
      • Yang Muda yang Encok
      • Tinggi-Tinggi yang Bersembunyi
      • Cuap-cuap Bebas Aja
    • ►  Sep 2021 (3)
      • Persamaan Eko dan Prabowo
      • Mungkin, Ini Jawaban Dari Doa Kita, Vin!
      • Jadi Ketua IPNU Kebonrowopucang
    • ►  Agu 2021 (6)
      • Dua Puluh Dua
      • Sejenak Jeda dari kerja
      • Omong Kosong
      • Perempuan yang (Pernah) Kucintai
      • Seribu Empat Ratus Empat Puluh Tiga Hijriah
      • Laptop, Wirda, Medsos, dan Apa yang Terjadi Saat Ini
    • ►  Jun 2021 (1)
      • Manten-mantenan di Pernikahan Mantan
    • ►  Mar 2021 (7)
      • Indomie, Teh Hangat, dan Lamunan Sederhana
      • Draf Pertama yang Kosong
      • Seorang Perempuan di Suatu Syawal
      • Sakit TBC Jalur Kecelakaan Ucapan! Apa Iya?
      • Enak Mana Jaman Soeharto atau Jokowi?
      • Menulis Gakusah Dibikin Ribet Deh?
      • Menghapus Sosial Media Untuk Kedamaian Diri
  • ►  2020 (14)
    • ►  Des 2020 (1)
    • ►  Nov 2020 (2)
    • ►  Jul 2020 (2)
    • ►  Jun 2020 (1)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  Apr 2020 (1)
    • ►  Mar 2020 (2)
    • ►  Feb 2020 (4)
  • ►  2019 (3)
    • ►  Mar 2019 (1)
    • ►  Feb 2019 (1)
    • ►  Jan 2019 (1)
  • ►  2018 (57)
    • ►  Okt 2018 (7)
    • ►  Sep 2018 (5)
    • ►  Jul 2018 (11)
    • ►  Jun 2018 (3)
    • ►  Mei 2018 (4)
    • ►  Apr 2018 (2)
    • ►  Mar 2018 (5)
    • ►  Feb 2018 (12)
    • ►  Jan 2018 (8)
  • ►  2017 (71)
    • ►  Des 2017 (7)
    • ►  Nov 2017 (20)
    • ►  Okt 2017 (10)
    • ►  Sep 2017 (8)
    • ►  Agu 2017 (8)
    • ►  Jul 2017 (9)
    • ►  Jun 2017 (5)
    • ►  Mei 2017 (4)

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates